Setelah mengekspor jamu dan rempah-rempah sejak tahun 1988, Nekaboga berencana beralih dari pasar B2B ke B2C.
Keputusan ini didorong oleh tekanan persaingan untuk menjaga harga tetap rendah, kata Tony Lukmanto, kepala penjualan dan pemasaran Nekaboga.
“Harga kami selalu dibandingkan dengan pemasok pesaing lainnya, dan margin keuntungan lebih rendah dibandingkan B2C,” Lukmanto menjelaskan.
Bagi Nekaboga, yang secara tradisional memasok jamu dan rempah-rempah dalam jumlah besar ke pasar global – terutama di Jepang, Eropa, Amerika Serikat, dan Australia – kebutuhan akan peralihan model bisnis sudah jelas meskipun perdagangan rempah-rempah bersifat kompetitif.
“Kami berencana memanfaatkan tren konsumen di bidang kesehatan dan rasa, yang merupakan pendorong tren utama dalam industri makanan global. Targetnya bisa berproduksi untuk minimarket dalam waktu lima tahun dari sekarang,” kata Lukmanto.
Memahami profil rasa regional
Potensi keberhasilan Nekaboga di bidang ritel akan bergantung pada pemahaman preferensi rasa regional, yang dapat membentuk penawaran perusahaan tersebut kepada konsumen.
Misalnya, Indonesia menyukai rasa manis, sedangkan orang Thailand cenderung menyukai makanan pedas dan pedas, menurut Lukmanto.
Masyarakat Singapura memiliki selera makan yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan wilayah Asia lainnya, dan hal ini berkaitan dengan semakin besarnya fokus pada kesehatan dan nutrisi, yang ditegaskan oleh kebijakan pemerintah mengenai pelabelan NutriGrade pada minuman.
Jepang dan Korea Selatan memiliki preferensi rasa yang kompleks dan beragam, termasuk permintaan yang tinggi terhadap lada hitam yang digunakan secara luas sebagai bumbu masakan.
Dengan menargetkan kebutuhan konsumen yang spesifik di setiap pasar, Nekaboga dapat menyesuaikan penawaran B2C-nya untuk menangkap perbedaan permintaan regional.
Rempah-rempah populer dan penawaran produk baru
Inti dari penawaran Nekaboga adalah bahan-bahan pokok seperti lada hitam, lada putih, kayu manis, dan cengkeh, yang sudah populer di berbagai pasar ekspor.
Produk-produk ini merupakan tulang punggung bisnis B2B mereka, namun dengan fokus pada transisi B2C, perusahaan mengeksplorasi produk bernilai tambah seperti campuran rempah-rempah.
“Kami mencampurkan rempah-rempah untuk memberikan variasi, seperti mencampurkan ketumbar dan lada putih. Campuran tersebut akan menarik konsumen yang mencari kenyamanan dan variasi dalam persiapan makanan,”Kata Lukmanto.
Kunyit juga merupakan bahan yang memiliki banyak potensi – dapat digunakan untuk memasak, menambah warna, dan juga memiliki manfaat kesehatan.
Mengingat penggunaan kunyit yang multifungsi di berbagai kategori kuliner dan kesehatan, serta meningkatnya minat global terhadap makanan fungsional, dimasukkannya kunyit ke dalam produk konsumen baru dapat membantu Nekabog memasuki pasar yang berfokus pada kesehatan, kata Lukmanto.
Namun, transisi ini akan menemui tantangan.
Menavigasi tren dan tantangan pasar
Saat Nekaboga bergerak menuju melayani ruang ritel, Nekaboga perlu menavigasi tren yang membentuk kembali industri makanan dan bahan-bahan. Keberlanjutan, misalnya, merupakan tuntutan yang semakin meningkat baik dari dunia usaha maupun konsumen.
Perusahaan besar seperti Unilever dan Nestlé mendorong keberlanjutan di seluruh rantai pasokan, kata Lukmanto.
Selain itu, ekspektasi konsumen terhadap transparansi dan kualitas juga meningkat, terutama terkait keamanan pangan dan sertifikasi.
“Kami memiliki sertifikasi seperti Kosher untuk Israel, USDA Organic, dan registrasi FDA. Dalam dunia ritel, dimana konsumen semakin sadar akan sumber daya dan keberlanjutan, sertifikasi ini akan menjadi pembeda utama bagi produk-produk Nekaboga.” kata Lukmanto.
Selain itu, fluktuasi harga bahan baku akibat panen yang tidak dapat diprediksi dan gangguan rantai pasokan masih menjadi kendala. Harga akan berfluktuasi sesuai persediaan petani. Hal ini dapat mempengaruhi perencanaan jangka panjang, terutama ketika memperkenalkan produk baru ke pasar konsumen yang sensitif terhadap harga.
Rencana strategis Nekaboga untuk lima tahun ke depan kemungkinan besar akan berkisar pada membangun identitas merek yang lebih kuat yang dapat diterima oleh konsumen akhir, khususnya di pasar Asia.
Perusahaan akan bergantung pada mitra distribusi untuk membantu menavigasi kompleksitas pasar lokal.
“Kami menawarkan produknya, tapi kami tidak memiliki cukup pengetahuan tentang pasar lokal. Kami memerlukan teman-teman di jaringan distributor kami untuk memperluas kehadiran kami di Asia, Australia, dan sekitarnya,” kata Lukmanto.